Pelaihari Membangun

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Taman Kijang Kencana

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Datang di Kota Pelaihari

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, August 24, 2009

Abu Nawas dan Pukulan yang Menjadi Dinar

Pada suatu hari Abu Nawas menghadap ke Istana. Ia pun bercakap-cakap dengan Sultan dengan riang gembira. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran di benak Sultan. “Bukankah Ibu si Abu Nawas ini sudah meninggal? Aku ingin mencoba kepandaiannya sekali lagi, Aku ingin menyuruh dia membawa ibunya ke istanaku ini. Kalau berhasil akan aku beri hadiah seratus dinar.
“Hai, Abu Nawas,” titah Sultan, “Besok bawalah Ibumu ke istanaku, nanti aku beri engkau hadiah seratus dinar.”

Abu Nawas kaget. “Bukankah beliau sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal, tapi mengapa beliau memerintahkan itu,” pikirnya. Namun dasar Abu Nawas, ia menyanggupi perintah itu. “Baiklah, tuanku, esok pagi hamba akan bawa ibu hamba menghadap kemari,” jawabnya mantap. Setelah itu ia pun mohon diri.

Sesampai di rumah, setelah makan dan minum, ia pergi lagi. Dijelajahinya sudut-sudut negeri itu, menyusuri jalan, lorong dan kampung, untuk mencari seorang perempuan tua yang akan dijadikan sebagai ibu angkat. Rupanya tidak mudah menemukan sesosok perempuan tua. Setelah memeras tenaga mengayun langkah kesana kemari hingga jontor, barulah ia menemukan yang dicari. Perempuan itu adalah seorang pedagang kue apem di pinggir jalan yang sedang memasak kue-kue dagangannya. Dihampirinya perempuan tua itu.

“Hai, ibu, bersediakah engkau kujadikan ibu angkat?” kata Abu Nawas.

“Kenapa engkau berkata demikian?” tanya si Ibu tua itu. “Apa alasannya?”

Maka diceritakanlah perihal dirinya yang mendapat perintah dari Sultan agar membawa ibunya ke istana. Padahal ibunya sudah meninggal. Juga dijanjikan akan membagi dua hadiah dari Sultan yang akan diterimanya. “Uang itu dapat ibu simpan untuk bekal meninggal bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan,” kata Abu Nawas.

“Baiklah kata si Ibu tua itu, aku sanggup memenuhi permintaanmu itu.”

Setelah itu Abu Nawas menyerahkan sebuah tasbih dengan pesan agar terus menghitung biji tasbih itu meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab pertanyaan yang diajukan. Sebelum meninggalkan perempuan itu, Abu Nawas wanti-wanti agar rencana ini tidak sampai gagal. Untuk itu ia akan menggendong perempuan tua itu ke istana.

“Baiklah anakku, moga-moga Tuhan memberkatimu,” Kata si ibu tua.

“Dan terutama kepada Ibuku…”

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah sampai di istana lalu memberikan salam kepada Sultan.

“Waalaikumsalam, Abu Nawas,” jawab Sultan. Setelah itu Sultan memandang Abu Nawas. Bukan main terkejutnya Sultan melihat Abu Nawas menggendong seorang perempuan tua. “Siapa yang kamu gendong itu?” tanya Sultan. “Diakah ibumu?” tapi kenapa siang begini kamu baru sampai?”

“Benar, tuanku, inilah ibu Patik, beliau sudah tua dan kakinya lemah dan tidak mampu berjalan kemari, padahal rumahnya sangat jauh. Itu sebabnya patik gendong ibu kemari,” kata Abu Nawas sambil mendudukkan ibu tua di hadapan Sultan.

Setelah duduk ibu tua itu pun memegang tasbih dan segera menghitung biji tasbih tanpa henti meski Sultan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Tentu saja Sultan tersinggung, “Ibumu sangat tidak sopan, lagi pula apa yang dikatakannya itu sampai tidak mau berhenti?”

Sembah Abu Nawas, “Ya tuanku Syah Alam, suami ibu patik ini 99 banyaknya. Beliau sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan tidak akan berhenti sebelum selesai semuanya.”

Seratus Dinas

Demi mendengar ucapan Abu Nawas tadi perempuan tua itu pun melempar tasbih dan bersembah datang kepada Sultan. “Ya tuanku Syah Alam,” katanya, “Adapun patik ini dari muda sampai tua begini hanya seorang suami hamba. Apabila sekarang ini berada di hadapan tuanku, itu adalah atas permintaan Abu Nawas. Dia berpesan agar patik menghitung-hitung biji tasbih dan tidak menjawab pertanyaan tuanku. Nanti Abu Nawas akan membagi dua hadiah yang akan diterimanya dari tuanku.”

Begitu mendengar ucapan perempuan tua itu Sultan tertawa dan menyuruh memukul Abu Nawas seratus kali. Ketika perintah itu akan dilaksanakan, Abu Nawas minta izin untuk dipertemukan dengan Sultan. “Ya tuanku, hukuman apakah yang akan tuanku jatuhkan kepada hamba ini?”

“Karena engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu kemari, akupun berjanji akan memberi hadiah uang seratus dinar, tapi karena kamu tidak bisa memenuhi janjimu, dapatlah engkau seratus kali pukulanku,” kata Sultan.

“Ya tuanku, Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Patik berjanji dengan perempuan tua ini akan membagi dua hadiah yang akan tuanku berikan kepada hamba, tetapi karena sekarang hamba mendapat dera, hadiah itu juga harus dibagi dua, karena yang bersalah dua orang, patik terimalah hukuman itu, tetapi lima puluh seorang dengan perempuan tua ini.”

Dalam hati Sultan bergumam, “Jangankan dipukul lima puluh kali, dipukul sekali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri.” Setelah itu Sultan memberi lima puluh dinar kepada perempuan tua itu sambil berpesan agar tidak cepat percaya kepada Abu Nawas bila lain kali menemuinya. Dengan suka cita diterimanya hadiah itu dan dipandangnya Abu Nawas.

“Ya tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat anugerah dari paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu saja.”

“Hmm…ya, terimalah pula bagianmu,” ujar baginda sambil tersenyum, “Ini…”

Semua orang tertawa dalam hati. Setelah Abu Nawas bermohon diri pulang ke rumah. Demikian pula perempuan tua itu dan semua yang hadir di Balairung, dengan perasaan masing-masing.

Cara Abu Nawas Merayu Tuhan

Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.

“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.

“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.

***

Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.

Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.

“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.

“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.

“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).

Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Pertama)

lembu-abu-nawas

Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati.

Kemudian Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya.

Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri itu. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.

“Dengan demikian memang betul berita-berta yang aku dengar tentang menteri ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”

“Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yang sedang menggiring seekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu.

“Lembu ini tidak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”

“Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.”

“Betul juga kata Tuan,” jawab si pemuda setelah berpikir sejenak. “Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”

“Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.

“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.

“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.

“Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yang akan membeli lembumu, melainkan menteri yang zalim itu. Oleh karena itu berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab si pemuda.

“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”

“Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”

“Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera membelinya.

“Lima puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si menteri. “Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si pemuda.

“Baik, pasti kebayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas binatang itu, namun karena harga telah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya.

“Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.”

Keduanya pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata si pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan lembuku.”

“Apa yang mesti kubayar, dan apa yang harus kukembalikan,” kilah si menteri. “Cuma tali yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.”

“Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.”

Si menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang kerumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang, uang melayang. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,” keluhnya.

Bersambung …

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Kedua – Habis)

“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.

“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”

“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”

Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.

“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.

Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.

“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.

“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis.

“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.”

“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.

“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.

“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.

“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.”

“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.

“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.”

Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya.

Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.

Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim

Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.

Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.

“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”

Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.

Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.

“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.

“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”

Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk.

“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?

“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”

“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.

“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.”

Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.

Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.

Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.

Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.

“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”

Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.

“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”

“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”

“Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”

Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”.

Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.

Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah.

Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat.

Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka.

“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.

“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.

“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”

“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”

“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.

“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”

Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah.

Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.

Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”

KISAH API

Pada   zaman   dahulu  ada  seorang  yang  merenungkan  cara
bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan-
percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari
satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak
tentang penemuannya.

Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai
kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang
memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira
bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu
cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi
mereka. Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya
memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan
sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin
bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang
api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang
tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat
kedinginan.

Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat
untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang
menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.
Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan
dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang
kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa
menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan
mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi
mereka.

Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan
beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui
negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu
tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan
bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya,
"Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitan dengan
pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka
itu!"

Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi
perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang
masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan
bagaimana mendekatinya."

Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu
diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka
menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika
upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang
mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin
mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus
menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri,
silahkan saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan
pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku
bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai
perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu,
maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun
lamanya kalian telah tersesat?"

Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang
itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di
negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api.
Ada lagi seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba
menyehatkan akal bangsa itu.

Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk
berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal.
Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan
hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda
kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara
ini."

Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal.
Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara
diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara
kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah
dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha
membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak
mau mendengarkan Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka
menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur,
orang pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata
kepada pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan,
yang bisa dipergunakan."

"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa
menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."

"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi
mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut
ketiga itu.

"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan
tak bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan
pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata
pendeta-pendeta itu. Dan pengikut darwis itupun bisa
melanjutkan usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri
bangsa keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan
kerumunan orang.

"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana
melaksanakannya," katanya.

Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi
beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin
benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui
bagaimana cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji
oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar
ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan
tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan
kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu
merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka
yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan
orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api
bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak
benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia
mendapat kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu
tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa
kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian
ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya
dengan bangsa kita ini?"

Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.

Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa
yang kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari,
dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,

"Kalian harus belajar cara mengajar, sebab manusia tidak
ingin diajar. Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka
bahwa masih ada saja hal yang harus dipelajari. Mereka
membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin
mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari,
bukan apa yang pertama-tama harus mereka pelajari. Kalau
kalian telah mempelajari ini semua, kalian baru bisa
mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa
untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan dan
kemampuan."

Catatan

Untuk menjawab pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad
al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,

"Seorang barbar adalah manusia yang daya pahamnya begitu
tumpul sehingga ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan
atau merasakan sesuatu yang hanya dipahami lewat
pengembangan dan penerapan terus-menerus terhadap usaha
mencapai Tuhan.

Manusia menertawakan Musa dan Yesus, atau karena mereka
sangat tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri
mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka
berbicara dan bertindak."

Menurut cerita darwis, ia dituduh menyebarkan Kristen dan
orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen karena
menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah.

Ia pendiri kaum Badawi Mesir.

SULTAN YANG MENJADI ORANG BUANGAN

oleh Idries Shah

Seorang   Sultan   Mesir   konon  mengumpulkan  orang  orang
terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran.
Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan,
pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya,
dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga
neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali,
mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke
kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air
yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya
masih belum habis ketika Nabi turun kembali.

Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran
waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya
tidak masuk akal.

Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal
bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak
memuaskan raja.

Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi
Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan
menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata,
"Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian.
Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada
faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita
itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal,
yang dangkal dan terbatas."

Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh
memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar
melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat
olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut
banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.

"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.

Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak
ada seorang perajurit pun yang tampak.

Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar
tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.

"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api
sama sekali.

Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar
mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu
tak ada.

Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir
seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah
jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.

Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan
memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah
Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang
sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena
kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin
membalas dendam.

Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang
kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan
siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar
di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya
pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada
seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan
bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia
seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada
kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.

Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota
tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang
pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan
syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu
pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis
cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu
sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang
berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya
lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum
kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya
yang tak karuan.

Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya,
"Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini.
Ayo, ikut aku."

Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah
yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya
yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik
dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima
yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai
wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.

Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia
telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan
bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan
basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila
berada di jalan.

Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat
indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun
diperdengarkan.

Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu:
sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya.
Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang
harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.

Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun
kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena
Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia
disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.

Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat
berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang
dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.

Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di
tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang
lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air
wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di
istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai
keratonnya.

"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak
Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi
kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa,
hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"

"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut,
"yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."

Para pegawai keraton membenarkan hal itu.

Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun.
Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu.
Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syeh pun
menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat).
Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di
Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.

Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:

"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan
rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan
tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya
kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk
membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah
itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum
habis isinya?

Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu.
Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna
kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali.
Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."

Catatan

Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti,
masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau
pendengarnya.

Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di
kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah
kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."

Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal
yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui'
khalayak."

Lailatul Qadar

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita  berbicara
tentang surat Al-Qadar.

Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam
Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra'. Para ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat
Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat
Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.

Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas
perintah Allah Swt., dan dari perurutannya ditemukan
keserasian-keserasian yang mengagumkan.

Kalau dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim)
diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain
adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat
Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan
kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah
satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran
"lebih baik dari seribu bulan."

Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali
saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa?
Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya
pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik
material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air,
heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering
muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan
pernyataan Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama
Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar
dengan penuh kebijaksanaan."

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu
malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang
penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS
Al-Dukhan [44]: 3-5).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan
(QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr
[97]: l).

Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui
betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya
"pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran,
sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang
berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum
al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak
mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan
berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari
angka tiga belas itu adalah:

Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
(QS Al-Thariq [86]: 2)

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(QS Al-Balad [90]: 12)

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)

Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan
objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal
pikiran manusia.

Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara
pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah
dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah)
dekat? (QS Al-Syura [42]: 17~.

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan
dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).

Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika
menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut
tidak mungkin diketahui manusia.

Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah--
menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini
berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal
yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri,
sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada
akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga
informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian
perhedaan kedua kalimat tersebut.

Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk
kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah
kita dapat memperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa
arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di
sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami
sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah
dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama
yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran
yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada
malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan
strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw., guna mengajak manusia
kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun
kelompok.

2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada
bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya
Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala
kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia
ditemukan dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang
kaum musyrik:

Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.

3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena
banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Qadr:

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh
((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan.

Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain
dalam surat A1-Ra'd (13): 26:

Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar,
karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila
diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada
malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian
dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan
bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan
dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun
atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas
abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu
Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena
umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan
tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka
atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia
itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh
malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu
turunnya Al-Quran.

Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut
paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda
bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka
berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks
hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. menganjurkan
umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu,
secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua
puluh Ramadhan.

[tulisan Arab]

Demikian sabda Nabi Saw.

Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi
pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa
ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa
kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu
sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata
kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang
mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada
masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun
dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat
berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga
baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti
bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat
fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak
dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik
material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang
tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan
bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang
tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat,
tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang
sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang
kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan
Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah
bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga
oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat
kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu
berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan
merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan
Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan
bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat
itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna
meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai
dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar
kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan
kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali
tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi
ilustrasi berikut:

Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada
dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering
merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan
ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang
itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang
membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata
'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau
setan. Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui
orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang
bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga
jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan,
dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan
damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar,
tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari
kemudian kelak.

Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan
penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas
kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang
diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta
dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan
pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan
iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan
untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.

Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali
adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang
diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai
kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan
membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam
perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam
rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara 1ain
adalah melakukan i'tikaf.

Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu
berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau
sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw.
selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan
puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil
berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati
maknanya adalah:

Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan
di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami
dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).

Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh
kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih
lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih
kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang
disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk
menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam
kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak
menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut,
tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar
hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat
terhadap hadis Nabi Saw.

Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan
melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,

Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada
pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,

Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan
sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula
panas ...

Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu
kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan
ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui
kita.

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA

oleh Nurcholish Madjid

Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan Ramadhan
barangkali merupakan ibadat wajib yang paling mendalam
bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan
dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka,
tarawih dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenangan
yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim.
Maka ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa
keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di
waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim menampilkan
corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan
beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka kekhasan
bangsa kita dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa
Ramadhan telah pula menjadi perhatian orang Muslim Arab di
akhir abad yang lalu. Seorang sarjana bernama Riyadl
menyebutkan bahwa di Jawa (yang dicampuradukkan olehnya
sebagai bagian dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara
yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa. Mereka
itu, kata Prof. Riyadl.

pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari
untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian
melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan
membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz'
sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada
suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa
mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang
menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi
terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang
buncis. [1]

Dari penuturan sederhana itu maka tidak terlalu salah jika
kita kaum Muslim Indonesia mempunyai kesan yang amat khas
tentang bulan Ramadhan, agaknya lebih dari kaum Muslim di
negeri-negeri lain. Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan
dengan intensitas yang tinggi, yang bakal meninggalkan kesan
mendalam pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan
pada bangsa kita tercermin juga dalam suasana Hari Raya
Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu
akan baik sekali jika kita memahami berbagai hikmah ibadah
puasa yang kita jalankan selama bulan itu.

PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT

Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah yang khas ini, ada
baiknya kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu,
guna memperoleh sedikit bahan perbandingan tentang bagaimana
puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.

Firman Allah berkenaan dengan kewajiban kaum beriman
menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya kewajiban serupa
atas manusia sebelum mereka: "Wahai sekalian orang yang
beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan atas mereka sebelum kami, agar kamu
bertaqwa." [2] Ini menunjukkan adanya ibadat puasa pada
umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.

Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadat
yang paling mula-mula serta yang paling luas tersebar di
kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat
berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu
tempat ke tempat yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu
berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari
pemenuhan kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan
diri dari bekerja, malah dari berbicara. Puasa berupa
penahanan diri dari berbicara dituturkan dalam al-Qur'an
pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih.
Karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah
melakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkan
seorang putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk
melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun
juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:

... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam),
serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau
melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya
aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm)
kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak
akan berbicara kepada siapapun jua. [3]

Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran jasmani
dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya,
khususnya dari kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran
jasmani dari kebutuhannya, yaitu makan dan minum, dapat
beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri dari
makan dan minum itu secara mutlak (artinya, semua bentuk
makanan dan minuman dihindari, tanpa kecuali), sejak dari
fajar sampai terbenam matahari. Tetapi ada umat lain yang
berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau
minuman tertentu saja. Konon kaum Sabean (al-Shabi'un) dan
para pengikut Manu (al-Manuwiyyun), yaitu kelompok-kelompok
keagamaan di Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan
Persia, adalah umat-umat yang menjalankan puasa dengan
menghindari jenis tertentu makanan dan minuman itu. Demikian
pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen Timur
di Asia Barat dan Mesir.

Dari segi waktu pun terdapat keanekaragaman dalam amalan
berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian
siang, atau seluruh siang, atau siang dan malam sekaligus.
Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya untuk malam hari.
Karena itu sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa
perlu meneranghan hikmah puasa siang hari saja seperti yang
dijalankan oleh kaum Muslim. Maka al-Jurjawi, misalnya,
memandang bahwa puasa di siang hari adalah yang lebih utama
daripada di malam hari, karena lebih berat. Ini dikaitkan
dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist Nabi, bahwa "Ibadat
yang paling utama ialah yang paling mengigit (ahmaz yakni,
paling berat)", dan bahwa "Sebaik-baik amalan ialah yang
paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat
berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu
latihan keruhanian, sehingga semakin berat semakin baik dan
utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan raga orang
yang melakukannya.

Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan, disebutkan oleh
al-Jurjawi bahwa sebagian ahli tafsir Yahudi dan Kristen,
namun kemudian mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup
kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali barangkali
untuk orang-orang Yahudi dan Kristen Arab di Jazirah Arabia
karena terpengaruh atau meneruskan adat kebiasaan setempat.
Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak
dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya
suku Quraisy. Dan memang banyak amalan yang disyari'atkan
dalam Islam telah pula disyari'atkan kepada umat-umat
sebelumnya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah
tersebut di atas, sebagaimana juga jelas bahwa Islam
mengukuhkan sebagian ibadat sebelum Islam, seperti beberapa
amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya itu dibersihkan
dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]

Berdasarkan itu semua dapat dikatakan bahwa puasa merupakan
salah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan
atau kontinuitas agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi
salah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkan
kepada umat-umat sebelumnya. Segi kesinambungan atau
kontinuitas Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan
hal yang dengan sangat kukuh dijelaskan dalam Kitab Suci,
yaitu dalam perspektif bahwa peran Nabi Muhammad saw ialah
tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan
Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:

Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan)
kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan
kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang
telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub,
Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah
Kami berikan Kitab Zabur.

Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka
itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul
yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan
sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.

Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman,
agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah
sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha
Bijaksana.

Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada
engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu
pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan
(sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]

PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI

Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam
bentuk Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia)
adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah
untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala." [7]
Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan
bahwa puasa itu

... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari
amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak
melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan
syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya
(Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan
segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih
mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu
rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang
lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat
melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala
sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya
demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang
tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat
puasa.[8]

Jadi salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang
pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang
manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan
letak seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan
itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu
sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan.
Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah
dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh
seseorang ketika ia berada sendirian.

Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan
adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak
tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap
segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan
nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamu
dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala
sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah
Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia,
dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." [11]
"Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antara
seseorang dan hatinya sendiri..." [12]

Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik Islam
(Salaf) yang hidup sekitar tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn
Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751 H). Penjelasan serupa
juga dikemukakan oleh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh
pemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir. Dalam uraiannya
tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:

Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i
(manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat
(amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak,
padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba
dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari
syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik
itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah
Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia.
Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam
kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -
(publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan
Yang Maha Agung itu untuk melanggar
larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman,
dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia
merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia
mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.
Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka,
dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak
menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut
kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar.

Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti pendidikan
Ilahi melalui ibadah puasa ialah penanaman dan pengukuhan
kesadaran yang sedalam-dalamnya akan ke-MahaHadir-an
(omnipresence) Tuhan. Adalah kesadaran ini yang melandasi
ketaqwaan atau merupakan hakikat ketaqwaan itu, dan yang
membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan
terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai
seorang yang berbudi pekerti luhur, ber-akhlaq karimah.
Kesadaran akan hakikat Allah yang Maha Hadir itu dan
konsekuensinya yang diharapkan dalam tingkah laku manusia,
digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:

"Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu
yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan
dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan
tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang
Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah
Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu
ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di
manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa
yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat.
Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]

Sekali lagi, dari keterangan di atas itu tampak bahwa puasa
adalah suatu ibadat yang berdimensi kerahasiaan atau
keprivatan (privacy) yang amat kuat. Dari situ juga dapat
ditarik pengertian bahwa puasa adalah yang pertama dan utama
merupakan sarana pendidikan tanggungjawab pribadi. Ia
bertujuan mendidik agar kita mendalami keinsyafan akan Allah
yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat dan
tempat.

Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh, melainkan dengan penuh
kesungguhan dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat
akan kita pertanggungjawabkan kepada Khaliq kita secara
pribadi. Tentang betapa dimensi pribadi (personal)
tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu,
Kitab Suci al-Qur'an memberi gambaran amat kuat sebagai
berikut:

Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian
kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika
seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan
tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya
sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar
(pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi
(kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan
pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu
sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat
memperdaya. [15]

Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak
seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika
perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan
bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela.
[l6]

Ini semuanya sudah tentu sejajar dengan berbagai penegasan
dalam Islam bahwa manusia dihargai dalam pandangan Allah
menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya, suatu ajaran
tentang orientasi prestasi yang tegas, dalam pengertian
pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada
apa yang dapat diperbuat dan dicapai oleh seseorang.
Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise, yaitu pandangan
yang mendasarkan penghargaan kepada seseorang atas
pertimbangan segi-segi askriptif seperti faktor keturunan,
daerah, warna kulit, bahasa dll. Orientasi seperti faktor
keturunan, daerah, warna kulit, bahasa, dll. Orientasi
prestasi berdasarkan kerja ini kemudian dikukuhkan dengan
ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi di
Akhirat kelak.

PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN

Sebegitu jauh kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa
sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab
pribadi. Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri
mengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan pada
kehidupan nyata di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab
sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang sama, yang
sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa
dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab itu tidak bisa
dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan peniadaan yang lain.

Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan bahwa salah
satu hikmah ibadah puasa ialah penanaman rasa solidaritas
sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwa
ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik
sebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuk
tindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu
zakat, sedekah, infaq, dll.

Dari sudut pandangan itulah kita harus melihat kewajiban
membayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang
akhir bulan suci itu. Seperti diketahui, fithrah merupakan
konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa
setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Karena
itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan
kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang
sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap
zakat atau "sedekah" (shadagah, secara etimologis berarti
"tindakan kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan
bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam
kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu,
yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka
yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun
(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang
yang terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan
beban hidup mereka. Sasaran zakat yang lain pun masih
berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan
umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat
sendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan
Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang
seluas-luasnya.

Sebenarnya dimensi sosial dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab Suci,
yaitu taqwa. Dalam memberi penjelasan tentang taqwa sebagai
tujuan puasa itu, Syeikh Muhammad 'Abduh menunjuk adanya
kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan
puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama
"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar
senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam urusan hidup
mereka di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan mereka
bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan
diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.

Cara pandang kaum musyrik itu merupakan konseknensi faham
mereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengan
sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusia
sendiri) yang "disajikan" kepada Tuhan. Altar di kuil-knil
bangsa Inka di banyak bagian Amerika Selatan, umpamanya,
menunjukkan adanya praktek "ibadat" mendekati Tuhan dengan
sesajen berupa korban manusia. Demikian pula pada
bangsa-bangsa lain, praktek serupa juga tercatat dalam
sejarah, seperti pada bangsa-bangsa Mesir kuna, Romawi,
Yunani, India, dll.

Hal itu tentu berbeda dengan ajaran agama Tawhid yang
mengajarkan manusia untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya
(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama ini diajarkan
bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum
pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,
yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada
sesama manusia dalam masyarakat: "Maka barangsiapa ingin
berjumpa dengan Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat baik, dan
janganlah dalam berbakti kepada Tuhannya itu ia
memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]

Berkaitan dengan ini, Islam memang mengenal ajaran tentang
ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah itu, korban
(qurban) adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun
pendekatan itu terjadi bukan karena materi korban itu dalam
arti sebagai sesajen, melainkan karena taqwa yang ada dalam
jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah korban itu tercermin
dalam kegunaan nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan
meringankan beban anggota masyarakat yang kurang beruntung:
"Tidaklah bakal sampai kepada Allah daging korban itu, dan
tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah
taqwa dari kamu." [18]

Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan
kepada Allah bukanlah penderitaan lapar dan dahaga itu an
sich, melainkan rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh
prihatin itu. Dengan perkatauan lain, Tuhan tidaklah
memerlukan puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang
Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah untuk
kebaikan diri kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang lebih luas.

Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari
amal saleh, tali hubungan dengan Allah (habl min Allah -
"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan
dengan sesama manusia (habl min al-nas -"hablum minannas"),
taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn
al-khuluq atau al-akhlaq al karimah). Ini antara lain
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur." [19]

Ibadah puasa selama sebulan itu diakhiri dengan Hari Raya
Lebaran atau Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang
menggambarkan tentang saat kembalinya fitrah atau kesucian
asal manusia setelah hilang karena dosa selama setahun, dan
setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa. Dalam praktek
yang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi
dari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaan
yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan
pembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin,
diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan
besar pada shalat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaan
terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,
keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas
aspek sosial dari hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas
nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itu
maka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan
kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai
Hadits mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang pun
tertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihan
dan melewati batas.

Karena itu zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakat
untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,
yang terdiri dari para fakir miskin. Dari segi jumlah dan
jenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah
begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban yang telah
disinggung di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah
maknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasa
perikemanusiaan. Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalah
lambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakan
salah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kita
menifestasikan secara spontan.

Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberi
substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek
hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha
mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan
nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allah
berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:

Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari
berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir
mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan
oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu
sekalian bersyukur. [20]

"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin" (semoga kita semua tergolong
mereka yang kembali ke fitrah kita --dan yang menang-- atas
nafsu-egoisme kita).

MARHABAN YA RAMADHAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang
berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang
juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi
penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa
sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban ya Ramadhan".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",
sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.
Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak
seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan
selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat
yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau
"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta
dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan
"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti
bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,
karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,
itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar
yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis
yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah
tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,
semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad
tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan
saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih
untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan
ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir
bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih
perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan
itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang
harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan
dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.
Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran
Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,
kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya
adalah menahan diri untuk tidak bebicara:

Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
pun (QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat
Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran
anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing
sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin
wash-shaimat.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari
akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa
maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.
Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa
pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian
kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari".

Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan
kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan
pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya
adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa
dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian
bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
dan puasa.

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa
untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh
banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas.

Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum
sebagaimana disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.

2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
semacamnya.

3. Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar
pada puasa bulan Ramadhan.

PUASA RAMADHAN

Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat
Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa
puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di
Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah
turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban
melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama
sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran
yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-
perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat
dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat
(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari
kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang
dengan turunnya ayat 185:

Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri
tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa
yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan
terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada
ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis
lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil
bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah
sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi
tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa
sunnah tertentu.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan,
dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam
untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan
pun.

Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan
panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,
tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana
diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,
maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi
tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa
sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan
bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya
"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang
berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan
sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"
maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia
tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.
"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai
gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan
bahwa "berpuasa adalah baik."

Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan
bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk
berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa
orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa
dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa
sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa
Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk
kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir
dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi
tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya
dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia
tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an
Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena
itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada
hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan
hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari.

Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari
ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.
Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan
hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau
kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA

a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
yang menderita sakit)

Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa
secara garis besar dapat dibagi dua:

1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia
wajib berbuka; dan

2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat
kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
dianjurkan tidak berpuasa.

Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita
oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu
Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,
dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus
dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat
mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya
kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing
untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di
sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan
hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.

b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)

Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa
bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan
dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada
juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa
pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan
(rukhshah).

Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.
Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur
keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya
jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang
dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat
dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau
tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin
ini.

Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan
yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak
shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam
kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,
silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan
mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan
berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk
perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak
memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.
Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat
kemudahan dari Allah Swt.?

Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang
musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i
menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang
mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan
Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada
masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka
itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di
bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak
berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga
(mereka) yang tidak berpuasa."

Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih
baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang
menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah
izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan
Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki
kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,
antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,
yaitu:

c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk
meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih
kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan
(dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)
sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain."

Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh
ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang
membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban
mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang
yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,
sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi
orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,
dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti
bunyi harfiah ayat di atas.

Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus
berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah
r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada
ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya
memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan
bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah
yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min
ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga
akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang
tercantum dalam Mushaf sekarang.

Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti
harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat
ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya
segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,
namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun
diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau
Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat
menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?
Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping
berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan
kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di
atas.
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).

Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama
tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:
musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka
ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena
kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.

Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas
ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang
orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang
sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya
terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan
mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.
Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.

Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak
setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud
yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku
pada setiap masyarakat.

e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
187)

Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari
bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian
hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat
menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium
istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka
puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar
kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi
adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi
sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar).

Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.

Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan
itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu
mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.

g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam).

Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan
minum sampai dengan datangnya fajar.

Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan
datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam
dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,
dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah
dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh
banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh
pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".
Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang
berwarna hitam pun dinamai lail.

Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk
mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat
kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir
magrib sebenarnya belum masuk.

Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh
ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.

TUJUAN BERPUASA

Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang
hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau
la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut
agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak
memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan
dahaga."

Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan
tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya
bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan
kesulitan."

Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa.
Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."

Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.
Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,
misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan
pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat
bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan,
siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau
minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah,
kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan
itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab
jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan
mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa,
melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain
penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna
hadis qudsi di atas.

Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan
manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut
belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.
Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai
dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan
melakukannya karena Allah semata.

Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian
dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya
terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan
takwa.

PUASA DAN TAKWA

Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar,
menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah
secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah
dirimu dari Allah"

Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau
menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun
kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat
untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti
perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.

Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.

a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam
raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat
menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri
dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,
dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat
lainnya.

b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap
hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat
mengakibatkan siksa neraka.

Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman
Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau
takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada
mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia
timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."

Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan
kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau
kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,
menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
hadis.

Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal
tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti
yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik.
Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia
meneladani Allah Swt.

PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH

Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia
meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi
akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).

Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan
yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum,
dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara
lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:

Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak
memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)

Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia
tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin
[72]: 3).

Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,

Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan
dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).

Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal
mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan
tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.

Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal
itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan
sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai
dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.
Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,
Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat
mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,
dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam
pengertian di atas dapat pula dicapai.

Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian
kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--
sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw.
menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak
memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."

PUASA UMAT TERDAHULU

Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba
'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas
(umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para
ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam
prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini
berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,
kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,
dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada
Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam
agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat
berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi
umat islam dan umat-umat terdahulu?

Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah
aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan
berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang
tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga
kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau
musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan
atau menghindarkannya dari kebinasaan.

Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya
bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi
dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati
makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas
lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang
hari.

Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus
bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan
menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.

Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki
keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan
secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan
faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual--
akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.

Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan
atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan
pengendalian diri itulah esensi puasa.

Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau
miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau
masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh
umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh
Al-Quran.

Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan
salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi
pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush
shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa
yang mewajibkannya?

Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut
disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam
hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk
mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang
mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa,
dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini
dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran
agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan
bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh
setiap makhluk yang berakal?

Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku
mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan,
niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."

KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN

Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah
menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam
Qadar,

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada
Lailat Al-Qadr.

Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu,
yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para
malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan,
dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.

Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa
dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada
hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa
pun yang dengan tulus berdoa.

Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang
keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada
keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal
itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.

toolbar powered by Conduit